Posted by: Keluarga Pelancong | May 24, 2007

Solar Energy

Matahari bagi bumi kita lebih dari sekedar sumber cahaya. Dia adalah hal yang sangat vital bagi segala macam kehidupan di  bumi. Setiap hari, matahari memancarkan energi potensial yang sangat besar ke bumi. Sumber energi ini akan tersedia selama 5 miliar tahun lagi – secara terus-menerus, gratis, dan ramah lingkungan. Sebaliknya bahan bakar fosil seperti batu bara, minyak bumi dan gas alam tersedia dengan jumlah terbatas.

 

Solar energy alias energi matahari bersama energi angin, air, biomassa dan minyak bumi digolongkan sebagai energi terbaharukan, dengan bahan baku tak terbatas. dengan beberapa cara, energi ini dapat diubah sehingga lebih bermanfaat, misalnya dengan pengumpul panas (solartherm) untuk memanaskan air dan dengan bantuan sel surya atau fotovoltaik untuk menghasilkan listrik.

 

Di Jerman, pasar teknologi solar berkembang dengan sangat dinamis dan menjadi salah faktor penggerak ekonomi. Dalam lima tahun terakhir, omset teknologi surya melonjak rata-rata 43 persen per tahun. Untuk tahun 2005, omsetnya diperkirakan sebesar 2,7 miliar euro.

 

Warga Jerman sendiri menganggap energi surya sebagai sumber energi yang paling dikehendaki. Dalam sebuah jajak pendapat oleh Emnid & Allensbach, sebanyak 98 warga setuju akan pemanfaatannya, dan 75 persen diantaranya bahkan ingin tinggal dalam rumah bertenaga surya.

 

 

Sekitar 700.000 rumah telah menggunakan pemanas tenaga surya untuk memanaskan air minum dan sebagai pemanas ruangan, dengan instalasi alat pengumpul panas seluas 6 juta meter persegi. Dan sebanyak 100.000 generator surya telah dipasang sebagai penghasil 700 megawatt listrik. Hingga tahun 2020, diperkirakan, 25 gigawatt listrik berasal dari energi surya. Hampir sejuta orang telah memanfaatkan sumber energi ini. Bersama Jepang, Jerman menjadi kampiun peghasil listrik tenaga surya di dunia.

 

Sel surya berbahan dasar silikon sendiri merupakan teknologi yang relatif baru. Teknologi ini mulai dihasilkan oleh Perusahaan Amerika, Bell tahun 1950-an dengan efisiensi 6 persen. Perkembangannya sangat pesat di beberapa dekade terakhir.

 

Meski terbilang baru, teknologi ini telah berperan sebagai motor penggerak tersedianya lapangan kerja. Lebih dari 30.000 orang bekerja di bagian produksi, distibusi dan instalasi sel surya di Jerman. Tahun lalu, bidang ini menyediakan sekitar 5.000 lapangan kerja baru. Dengan berkembangnya perusahaan pembuat sel surya di negara ini, diperkirakan dalam 15 tahun mendatang, sektor ini akan menjadi mata pencarian bagi 200.000 orang.

 

Namun, dibandingkan dengan sumber energi lainnya, pemanfaatan energi surya baru mencapai hampir 0,1 persen di negara ini. Penyebabnya adalah masih mahalnya pengadaan energi ini dibanding energi terbaharukan lainnya.

 

Gerhard Willeke, kepala bidang sel surya di Fraunhofer Institur für Solare Energiesysteme di Freiburg mengatakan bahwa dibutuhkan waktu sekitar 25 tahun membuat energi surya lebih berarti dalam skala nasional. “Jika orang tak memulai memproduksinya secara massala, harganya tak akan menjadi lebih murah,” kata Willeke. “Mungkin akan sangat terlambat,  jika kita menunggu hingga minyak habis.”

*neraca*

Posted by: Keluarga Pelancong | May 24, 2007

Brain Drain

Ribuan ilmuwan dan akademisi Jerman bekerja di luar negeri, terutama Amerika Serikat saat ini. Di saat bersamaan, ilmuwan asing yang datang ke Jerman lebih sedikit jumlahnya. Eksodus orang-orang terbaik ke
negara lain atau dikenal dengan istilah “brain drain” telah berada dalam taraf yang mencemaskan sehingga beberapa inisiatif dilakukan untuk menarik mereka kembali.

Sebuah laporan Komisi Eropa menyebutkan bahwa puluhan ribu peneliti, sarjana dan doktor Jerman bekerja di Amerika Serikat. Jumlah ilmuwan Jerman ini tercatat sebagai yang terbesar ketiga setelah China dan Jepang. Di Eropa keadaan ini menjadi lebih dramatis.

Menurut data statistik Komisi Uni Eropa, 75 persen warga Eropa yang menempuh program doktor di Amerika Serikat tak ingin kembali. Dan kecenderungan itu meningkat, sehingga pada 2010 kelak dikhawatirkan Eropa akan kekurangan setengah juta ilmuwan dan insinyur, yang pada gilirannya akan memperlemah daya saing ekonomi negeri itu.

Salah satu penyebab brain drain, menurut sebuah studi, adalah kurangnya prospek dan kesempatan berkarir di Jerman. Penyebab lainnya adalah konsep senioritas yang kaku, lemahnya institusi, dan panjangnya birokrasi. Di lain pihak, Amerika menyerap sumber daya manusia secara agresif. Setengah penelitian di Amerika dilakukan oleh warga asing. Di Jerman, hanya 10 persen penelitian dilakukan ilmuwan asing. Dana
penelitian yang dikeluarkan pemerintah Amerika juga sangat besar. Pada tahun 2000, pemerintah Amerika menganggarkan dana penelitian dan pengembangan sebesar 287 miliar euro, 121 miliar lebih banyak dibanding dana penelitian Uni Eropa.

Beberapa usaha dan inisiatif dilakukan untuk menarik kembali tenaga ahli yang telah bekerja di luar negeri. Apalagi menurut sebuah jajak pendapat yang dilakukan sebuah lembaga ilmu pengetahuan Jerman menyatakan, 44 persen ilmuwan asal Jerman ingin kembali jika kondisi mendukung. Sejak dua tahun lalu, diselenggarakan proyek yang berpusat di New York bernama German Academic International Network
(GAIN) dan German Scholar Organization (GSO), bermarkas di San Fransisco.

GAIN memfokuskan diri pada distribusi informasi dan membuka sebuah forum bagi ilmuwan Jerman yang bekerja di luar negeri. GSO lebih banyak melakukan pendekatan praktis dan memulai bank data lapangan kerja online bagi mereka yang berminat bekerja di tanah air. GAIN yang beranggotakan beberapa lembaga, yakni Deutscher Akademischer Austauschdients (DAAD), Asosiasi Universitas Jerman, dan Universitas
Terbuka Berlin, mengajukan proposal kepada pemerintah berkenaan dengan brain drain. Isinya antara lain mengenai pemberian otonomi yang lebih luas kepada tiap perguruan tinggi di Jerman, himbauan agar pemerintah
mengurangi regulasi sehingga institusi akademis dapat menarik ilmuwan terbaik dan mempermudah birokrasi bagi tenaga ahli yang ingin datang ke Jerman.

Ketika batas negara kian kabur bahkan otak orang-orang pintar mudah mengalir ke mana kenyamanan hidup lebih menjanjikan

*neraca*

Posted by: Keluarga Pelancong | May 24, 2007

Jules Verne aka Liburan

Dibanding bangsa lain, orang Jerman sangat suka berlibur. Setahun tanpa berlibur, bagi orang Jerman bagai makan sayur tanpa garam. Liburan menjadi sangat berarti, karena setelah bekerja setiap hari, manusia memerlukan penyegaran. Selain itu, sebagian orang berlibur sambil berpetualang, menambah pengetahuan dan pengalaman, menjalani pemulihan kesehatan, atau bahkan untuk menunjukkan status sosial.

Tahun lalu (2004), diperkirakan 71 persen dari sekitar 82,5 juta penduduk Jerman melakukan perjalanan ke luar negeri minimal sekali dalam setahun. Pada tahun 2001, angka ini bahkan mencapai 75 persen.
Sementara tahun ini (2005), saat jumlah pengangguran di Jerman cukup besar, angkanya mencapai 69 persen. Tahun  2004, orang Jerman menghabiskan 58,1 miliar euro selama berlibur di luar negeri. Tujuan
wisata favorit mereka memang masih di Eropa: Spanyol, Italia, Inggris, Portugal, Yunani, dan Turki.

Di Eropa, kegemaran akan jalan-jalan mulai muncul di akhir abad 18. Jaman renaisans telah berlalu, berganti menjadi jaman Romantisme di Eropa. Sentimentalisme dan petualangan di alam bebas sangat diminati wisatawan. Liburan dengan menggunakan kereta atau kapal uap menjadi tren di kalangan orang kaya. Hingga awal abad 20, berlibur merupakan kemewahan yang hanya dinikmati kaum berada.

Meningkatnya kemakmuran menjadikan liburan keluar negeri sangat mungkin bagi sebagian besar rakyat Jerman. Pada tahun 1950-an terjadi keajaiban ekonomi di Jerman Barat. Kemakmuran rakyat meningkat, di lain pihak jam kerja mereka berkurang. Sekitar tahun 1955/56 pemerintah memberlakukan 5 hari kerja, dari sebelumnya 6 hari kerja. Tahun 1963, pemerintah juga menetapkan aturan cuti minimal 18 hari bagi para pekerja, sehingga mereka banyak memiliki waktu muntuk berlibur.

Pertengahanm tahun 1950-an 4,5 juta orang Jerman Barat telah mengunjungi Italia. Tahun 1960, sepertiga dari mereka melakukan perjalanan ke luar negeri. Berlibur telah menjadi bagian dari hidup dan simbol status
sosial. Dan saat ini, liburan bisa dilakukan siapa saja, yang memiliki uang dan waktu.

Salah satu penyokong melonjaknya turisme adalah industrialisasi, yang memungkinkan terpenuhinya syarat-syarat teknis pendukung seperti kereta api, mobil, kapal laut, pesawat terbang, dan pembangunan jalan raya. Kereta api super cepat telah menghubungkan beberapa negara di Eropa. Pesawat terbang telah menjangkau kota-kota besar di dunia. Dengan infrastruktur yang memadai, maka kegiatan turisme sendiri
akan semakin mudah dan murah. Orang pun berbondong-bondong melakukan liburan ke luar negeri.

Dengan berlibur ke tempat-tempat baru, kita akan menemukan hal-hal baru dalam hidup. Petualangan dan pengetahuan. Seperti yang pernah dikatakan oleh Jules Verne (1828-1905) : Apakah yang lebih indah dalam sejarah manusia, selain menemukan hal-hal baru! Untuk pertama kalinya menyeberangi Atlantik bersama Christopher Columbus, menyeberangi Pasifik bersama Magellan, ke kutub bersama Parry, Franklin, Dumont
deUrville dan lainnya, benar-benar sebuah impian!

*neraca*

Posted by: Keluarga Pelancong | May 24, 2007

Keajaiban Ekonomi Jerman Barat

Tahun 1945 merupakan tonggak sejarah. Tak hanya bagi Indonesia, namun juga bagi Jerman. Perang Total yang dikumandangkan pemerintah Adolf Hitler pada tahun 1943 membawa kehancuran militer, politik, maupun moral. Jerman mengalami kekalahan total. Tahun 1945 merupakan akhir dari kekuasaan nasionalis sosialis, sekaligus merupakan awal bagi demokrasi.

Di akhir perang dunia kedua, Jerman mengalami kehancuran yang dasyat. Wilayahnya dikuasai empat negara yaitu Amerika Serikat, Perancis, Inggris dan Uni Sovyet. Perang ini telah menyebabkan kematian lebih dari 55 juta orang di seluruh dunia ini, 7 juta diantaranya adalah warga Jerman. Sebelas juta warga Jerman lainnya menjadi tawanan perang, sementara 10 juta orang menjadi pengungsi. Akibat pengeboman, seperlima gedung apartemen dan pabrik hancur, dua perlima jalan raya hancur, 20 juta orang kehilangan tempat tinggal. Sebagian kota besar hanya tinggal puing dan abu. Jutaan orang kekurangan makanan dan pakaian. Pada tahun 1949, Jerman terpisah menjadi 2 negara. Jerman Barat (Bundesrepublik Deutschland/BRD) di
bekas daerah yang dikuasai AS, Inggris dan Perancis. Jerman Timur (Deutsche Demokratische Republik/DDR) di bekas daerah kekuasaan Uni Sovyet. Kedua Jerman ini berbeda
perkembangannya.

Pemerintah Jerman Barat segera melakukan pembangunan kembali infrastruktur yang rusak akibat perang. Dengan program Marshall-Plan, Amerika Serikat mengucurkan dana bantuan sebesar 1,5 miliar dollar kepada Jerman Barat. Dan dalam jangka waktu 15 tahun, pemerintah BRD telah berhasil membangun 3 juta apartemen baru.

Tahun 1950-an merupakan masa keajaiban ekonomi di sepanjang sejarah BRD. Pemerintah menjalankan peraturan baru ekonomi yang dicetuskan Ludwig Erhard, menteri Ekonomi pertama
BRD, dan disebut sebagai ekonomi pasar sosialis. Untuk menggerakkan roda perekonomian, pemerintah BRD melakukan usaha-usaha untuk memajukan industri. Industri pertambangan
dipacu agar menghasilkan energi yang cukup, serta industri logam untuk membangun berbagai infrastruktur. Selanjutnya dibangun industri mesin, kimia dan elektro. Produksi barang konsumsi
belum menjadi tujuan utama di awal tahun limapuluhan.

Industri elektro segera mengalami booming : mesin cuci, mesin pendingin, televisi dan pesawat radio. Firma Krupp yang sempat hancur saat perang dunia kedua, kembali menghasilkan lokomotif, alat-alat industri, mesin, dan motor, serta mengekspornya ke seluruh dunia. Sebagai daerah industri, BRD menjaring banyak investor dari luar negeri. Sektor perdagangan pun tumbuh
subur. ‘’Made in Germany’’ merupakan jaminan kualitas bagi barang-barang ekspor.

Antara tahun 1950 hingga 1963 produksi industri real meningkat sebesar 185 persen. Angka pengangguran sangat rendah, yaitu dibawah 1 persen. Pertengahan tahun 1950-an, BRD bahkan mengalami kekurangan tenaga kerja. Banyak perusahaan mulai memperkerjakan pekerja asing yang berasal dari Italia, Portugal, Spanyol, Yunani, dan Turki. Tahun 1964, jumlah pekerja asing di
Jerman Barat mencapai sejuta orang. Sebagian besar dari mereka bekerja sebagai tenaga tak terlatih di pabrik, bangunan, dan pertambangan.

Mulai pertengahan tahun 1950-an, daya beli dan kualitas hidup rakyat Jerman Barat mulai meningkat. Mereka mulai memikirkan barang-barang konsumsi, seperti mebel, mobil, barang-barang
elektronik, dan liburan. Konsep Ludwig Erhard ’’Kenyamanan untuk Semua’’ mencapai sasaran.

Keajaiban ekonomi yang dialami Jerman Barat, menurut Ludwig Erhard merupakan hasil kerja keras, kemauan untuk bangkit kembali, dan di tahun-tahun awal adalah kemampuan untuk
menahan diri dari memenuhi kebutuhan pribadi dari seluruh masyarakatnya. Dengan kemajuan ekonomi yang dicapai, Jerman Barat memperoleh kembali penghargaan dari negara-negara lain yang dahulu menganggapnya sebagai musuh perang. Dan dalam jangka waktu yang tak terlalu lama setelah Perang Dunia II berakhir, Jerman Barat telah memiliki kebanggaan kembali sebagai suatu bangsa

*neraca*

Posted by: Keluarga Pelancong | May 23, 2007

Kincir Angin

Kincir angin adalah teknologi energi yang paling cepat perkembangannya di dunia. Kapasitas instalasi global berkembang dari 2500 megawatt (MW) pada tahun 1992, menjadi 40.000 MW pada akhir 2003, dengan pertumbuhan rata-rata per tahun sebesar 30%.

Hampir tiga perempat kapasitas instalasi energi angin kini berada di Eropa. Saat ini, energi ini telah memenuhi kebutuhan listrik 35 juta rumah tangga Eropa.

Ketertarikan terhadap energi angin semakin berkembang karena sebagian masyarakat semakin sadar tentang perlunya pengembangan energi yang bersih dan berkelanjutan di masa depan. Delapan puluh persen
penduduk, sangat mendukung penggunaan sumber energi yang dapat diperbarui.

Pengembangan energi alternatif dimulai pada 1970-an saat terjadi krisis energi dunia. Di Jerman sendiri, peraturan Penyediaan Listrik tahun 1990 merupakan awal digalakkannya energi angin. Peraturan ini kemudian
diperbarui menjadi Peraturan Tahun 2000, tentang pembangunan pembangkit energi yang hendaknya menggunakan sumber energi yang dapat diperbarui.

Dengan jumlah kincir angin sejumlah 14.000 buah, dan dengan kapasitas listrik lebih dari 12.000 MW, Jerman kini merupakan negeri kincir angin utama dunia. Seluruh kincir angin itu rata-rata menghasilkan 31,5 Twh listrik per tahun. Jumlah ini memenuhi sekitar 5 persen kebutuhan listrik di seluruh negeri, dan cenderung meningkat. Pemerintah merencanakan, pengunaan sumber energi yang dapat diperbarui mencapai 12,5 %
pada 2010 dan bahkan 20% pada 2020.

Selain sebagai penghasil kincir angin terbesar, Jerman juga merupakan pasar kincir angin terbesar di dunia. Produksi kincir angin pada 2004 mencapai setengah dari produksi dunia, dengan kuota ekspor sebesar 59 %.

Penggunaan angin sebagai sumber energi memiliki setidaknya dua keuntungan.

Dari segi ekonomi, sumber energi ini mampu megurangi penggunaan bahan bakar minyak, serta menciptakan lapangan pekerjaan baru di bidang pembuatan dan pemeliharaan kincir angin, serta distribusinya. Di
Jerman, omset industri energi angin mencapai 4 milliar Euro, dan merupakan mata pencarian dari 60.000 orang.

Di bidang lingkungan hidup, energi angin sangat ideal karena tidak menghasilkan polusi, tak memerlukan bahan bakar, tak menimbulkan efek rumah kaca, serta tak menghasilkan zat berbahaya dan sampah
radioaktif. Setiap megawatt listrik yang dihasilkan kincir angin, mengurangi emisi 0,8 hingga 0,9 ton gas rumah kaca yang dihasilkan minyak dan batubara setiap tahunnya. Lahan yang dibutuhkan pun tak terlalu luas.

Angin merupakan sumber energi potensial di masa depan ketika bahan bakar tradisional dari fosil semakin menipis, dan biaya penanggulangan polusi terhadap lingkungan semakin besar.

Sistem energi masa depan akan dipicu oleh isu lingkungan, pembangunan ekonomi, pelaksanaan pembangunan, dan liberalisasi pasar. Dan selama dua dekade perkembangannya, energi angin mampu menunjukkaan dialah salah satu energi masa depan.

*neraca*

Posted by: Keluarga Pelancong | May 23, 2007

Negeri Para Manula

Sementara Agustus 2005 ini pemerintah Indonesia mengumumkan kenaikan jumlah penduduk sebanyak 33% dalam lima tahun terakhir, pemerintah Jerman menyajikan statistik sebaliknya: trend penurunan jumlah warga.

Pada Juni 2003, Statistische Bundesamt, biro pusat statistik Jerman, mengeluarkan Press Exemplar berisi proyeksi jumlah penduduk Jerman 2050: pada tahun itu penduduk Jerman diperkirakan berkurang 9 persen dari jumlah penduduk sekarang. Penduduk Jerman berkurang sekitar 200 ribu jiwa per tahun.

Rendahnya angka kelahiran total, yakni 1,4 per wanita ini sangat mengkhawatirkan pemerintah. Karena akan menyebabkan turunnya kualitas hidup, keseimbangan sosial, dan pertumbuhan ekonomi Jerman. Agar jumlah penduduk tetap bertahan pada kisaran 80 juta jiwa, angka kelahiran total semestinya adalah 2,1 per wanita.

Angka kelahiran yang rendah tak hanya menyebabkan penyusutan jumlah penduduk, namun juga mengurangi jumlah generasi mudanya. Sejak 1997, jumlah penduduk yang berumur lebih dari 60 tahun melebihi
mereka yang berusia dibawah 20 tahun. Bertambahnya generasi tua mengharuskan negara menyiapkan dana pensiun sangat besar. Sedang berkurangnya generasi muda berarti pula berkurangnya angkatan kerja di kemudian hari. Dan berkurangnya angkatan kerja, memperlemah daya saing Jerman sebagai salah satu negara industri.

Menurunnya jumlah angkatan kerja dan produktivitas akan menurunkan pendapatan perkapita. Dampak ini akan bertambah, sebab sedikitnya jumlah penduduk berarti juga rendahnya konsumsi barang dan jasa.
Infrastruktur tak terpakai. Pada gilirannya, pertumbuhan ekonomi jadi negatif dan kemakmuran berkurang. Emansipasi wanita yang dimulai awal tahun 1980-an dituding sebagai penyebab masalah demografi yang terjadi di Jerman. Jumlah wanita berpendidikan bertambah. Setengah dari mereka memilih untuk tak memiliki anak. Di sisi lain angka perkawinan menurun hingga 60 persen. Sebaliknya, angka perceraian meningkat menjadi 40 persen (13 persen pada 1970-an).

Pemerintah Jerman sendiri sebenarnya tak tinggal diam dalam menghadapi masalah demografi ini. Imigrasi, sebagai salah satu faktor penambah jumlah penduduk, bukan merupakan pilihan utama. Para imigran sering menimbulkan masalah integrasi dengan penduduk asli.

Beberapa upaya telah mereka lakukan. Pemerintah memberikan dana besar untuk meningkatkan kesejahteraan anak. Anggaran ini digunakan memberikan tunjangan bagi seluruh anak Jerman setiap bulan. Besarnya tunjangan anak per bulan ini, merupakan terbesar kedua di Eropa, setelah Luxemburg. Untuk keluarga yang dianggap kurang mampu, diberikan tunjangan khusus pemeliharaan anak. Selain itu, pemerintah banyak membangun sarana-sarana lain seperti tempat bermain, dan tempat penitipan anak. Langkah-langkah tersebut diharapkan mampu mendongkrak angka kelahiran total.

Namun semuanya tak akan berguna tanpa kesadaran warga Jerman sendiri untuk memiliki anak. Dan jika kesadaran itu tak datang juga, pada 2050 nanti, jumlah manula negeri ini akan menjadi sepertiga jumlah penduduk keseluruhan saat ini.

*neraca*

Posted by: Keluarga Pelancong | May 23, 2007

Living in the Fast Line

Autobahn atau jalan tol Jerman menyatukan industri mobil, insfrastruktur transportasi dan pembangunan ekonomi. Bahkan strategi militer, mengingat sebagian autobahn dibuat ketika Adolf Hitler berkuasa.

Bagian pertama autobahn dibuka untuk umum antara Duesseldorf dan Opladen pada 1929. Tiga tahun kemudian, konstruksi kedua yang menghubungkan Cologne dan Bonn diselesaikan. Pada 1930-an, pemerintahan Hitler mencanangkan pembangunan Reichsautobahn, yang menghubungkan utara-selatan dan timur-barat Jerman. Hitler percaya, bahwa sistem jalan baru ini sangat berharga bagi militer dan akan membuka lapangan kerja baru.

Reichsautobahn pertama dibuka pada 9 Mei 1935, menghubungkan kota Frankfurt dan Darmstadt. Saat Perang Dunia II berakhir, 2.100 kilometer autobahn berhasil diselesaikan. Pemerintah Jerman Barat memulai ekspansi sistem menjadi 3400 kilometer pada 1959. Pada 1986, panjang keseluruhan autobahn mencapai hampir 8.200 kilometer. Selanjutnya pada 1990, panjangnya sekitar 11.000 kilometer, dan menjadi jalan tol terpanjang kedua di dunia, setelah Amerika Serikat.

Struktur autobahn didesain untuk arus lalu lintas berkecepatan tinggi. Batas kecepatan yang direkomendasikan adalah 130 kilometer per jam. Meski begitu, angka kecelakaan yang terjadi di autobahn relatif rendah, yaitu kurang dari 10 persen angka kecelakaan di seluruh negeri. Keberadaan autobahn seakan melengkapi mobil-mobil buatan Jerman yang dikenal sangat presisi buatannya.

Saat ini (tahun 2005), panjang autobahn telah mencapai sekitar 12.000 kilometer. Jika disambung menjadi satu jalan lurus,jarak ini sama dengan jarak perjalanan antara Berlin ke Honolulu, Hawaii, nonstop. Atau hampir lima belas kali jarak antara Jakarta-Surabaya. Jumlah ini akan bertambah karena pemerintah merencanakan untuk membangun rute baru atau memperpanjang jalan lama.

Sejak awal tahun 2005, pemerintah memberlakukan tarif penggunaan autobahn bagi truk dan mobil pengangkut barang. Sedangkan, mobil penumpang bisa menggunakan autobahn tanpa dipungut biaya. Ongkos pembangunan dan pemeliharaan autobahn didapatkan dari pajak bahan-bakar minyak, pajak lingkungan, dan pajak kendaraan bermotor. Meskipun gratis, pemeliharaan autobahn tetap menjadi prioritas.
Petugas memeriksa setiap meter jalan secara periodik. Kerusakan yang terjadi akan diperbaiki secepat mungkin.

Tak diragukan lagi, keberadaan autobahn sangat bermanfaat secara ekonomi bagi Jerman dan Eropa pada umumnya. Jalan-jalan ini menjadi sarana penghubung utama bagi sekitar 45 juta mobil penumpang dan 2,6 juta kendaraan pengangkut barang milik warga Jerman. Mereka bisa bepergian dari satu bagian ke bagian lain negara dengan waktu yang cukup singkat. Sektor pariwisata berkembang pesat, karena letak Jerman yang berada di jantung Eropa. Dengan dibukanya hotel, restauran dan sarana pendukung pariwisata lainnya, sektor ini telah meningkatkan pertumbuhan ekonomi Jerman secara keseluruhan. Jumlah ekspor dan impor barang yang diangkut melalui juga meningkat. Jerman tumbuh menjadi negara yang lebih modern.

Autobahn telah membantu Jerman menjadi salah satu negara industri maju dengan waktu yang relatif cepat. Motto “living in the fast lane” mungkin adalah kalimat yang sesuai untuk menggambarkannya.

*neraca*

Posted by: Keluarga Pelancong | May 22, 2007

Kisah Secangkir Kopi

Kopi adalah minuman paling disukai di Jerman. Dia lebih populer dari pada bir atau teh. Orang Jerman rata-rata minum empat cangkir kope stiap hari, 160 liter setahun atau setara dengan 6,5 kilogram biji kopi mentah.

Tak hanya di jerman sebenarnya. Setelah minyak mentah, kopi merupakan komoditi terpenting kedua dalam perdagangan global. Kostarika, Brasil, Kolombia, Indonesia dan Kenya adalah sebagian dari 50 negara pengekspor kopi. Panen tahunan dunia menghasilkan sekitar 6 juta ton biji kopi mentah. Lima juta ton di antaranya diperdagangkan antarnegara. Seratus juta orang hidu, langsung maupun tak langsung, dari penanaman dan pengolahan biji kopi.

Orang-orang Eropa pertama kali mengenal kopi pada abad 15, lewat pedagang-pedagang Venesia ynag sering berlayar ke Timur. Sekitar abad 17, Dutch East India Company, sebuah perusahaan yang lebih kita kenal dengan sebutan VOC (Vereinigde Oostindische Compagnie), membawa biji-biji kopi dari Indonesia ke Eropa.

Kopi masuk Jerman pada periode yang sama. Kedai kopi pertama di Jerman dibuka tahun 1673 di Bremen. Empat tahun kemudian, kedai kedua berdiri di Hamburg; kopi kemudian dengan cepat menyebar melalui pusat dagang maritim di seluruh Jerman.

Dahulu, orang Jerman lebih suka minum kopi di rumah. Mereka mengundang teman untuk minum kopi sambil membicarakan politik dan seni. Inilah alasan mengapa budaya kedai kopi sangat lambat perkembangannya di sini, dibandingkan Italia, Austria, dan Perancis. Budaya ini mulai marak pada awal abad 19. Saat itu, kedai-kedai kopi yang nyaman dan buka sepanjang hari banyak didirikan. Abad 19 merupakan jaman keemasan kedai kopi. Hampir di seluruh Eropa berdiri kedai kopi mewah, bagai istana dengan kaca-kaca dan kristal yang mahal.

“Kedai kopi adalah filosofi dan gaya hidup,” tulis Helmut Stutzmann dalam bukunya Kaffee. Dalam perkembangannya,
kedai kopi menjadi tempat pertemuan orang-orang engan latar belakang berbeda. Penulis, politikus, jurnalis, bahkan pemusik. Di tempat ini, terbentuk tradisi yang erangsang proses berpikir dan bertukar pikiran. Siapapun orangnya, apakah itu ilmuwan, penulis, jurnalis, seniman, atau orang biasa bisa bertukar pikiran di kedai kopi. Selain itu, disini orang bisa melamun, mengobrol, menulis ataupun membaca. Jaohann Sebastian Bach mempertunjukkan ‘’Coffee Cantata’’ untuk pertama kalinya di sebuah kedai kopi pada tahun 1732.

Di antara kedai kopi yang terkenal di Jerman adalah kafe Hauptwache di Frankfurt, tempat seorang penulis Hermann Kesten dahulu bermain catur. Ada juga Cafe National di Berlin, tempat Heinrichs Hoffmann von Falersleben menulis sebuah himne.

Saat ini, kopi tak hanya bisa dinikmati di kedai kopi. Minuman ini tersedia dimana-mana. Jika tak ada restauran atau kios yang menjual kopi, kita masih bisa mendapatkannya di mesin otomat. Konsumsi kopi di tempat-tempat ini mencapai seperempat konsumsi kopi di seluruh Jerman.

Keberadaan kedai kopi di Jerman ataupun di Eropa pada umumnya tak tergantikan, bahkan cenderung semakin
meningkat jumlahnya. Di jaman serba elektronik ini, manusia tak hanya ingin bernostalgia tentang masa lalu di sebuah
kedai kopi, namun juga untuk saling berbicara dan melakukan kontak dengan orang lain.

*neraca*

« Newer Posts

Categories